Orang berkata bahwa anak lelaki agak lambat dalam berdikari, tidak seperti anak perempuan lebih berakal. Mungkin itu benar! Ketika anak lelaki saya baru masuk sekolah, sering-sering sangat ceroboh dan lengah. Pada malam hari, saat memeriksa alat-alat tulis pasti kedapatan ada yang kurang, pensil yang kurang atau penghapus yang hilang.
Dia sendiri juga tidak mengerti apakah dipinjam oleh teman dan tidak dikembalikan, ataukah jatuh. Dia mengerti untuk memeriksa kembali barang-barangnya sebelum pulang sekolah, jika di atas lantai tidak kelihatan, dia tidak berani menanyakan kepada orang lain apakah telah menemukan.
Pada suatu hari, buku pelajarannya ilang, dengan terpaksa dia memberanikan diri bertanya kepada teman sebangkunya. Teman sebangkunya itu membuka tasnya dan menemukan dua buku, ternyata dia salah memasukkan.
Kejadian itu membuat nyalinya agak bertambah. Suatu kali berada dirumah, saya melihat dia menggunakan pisau kecil untuk memotong-motong penghapus panjang menjadi bagian kecil-kecil, saya langsung mencegah dia.
Dia berkata, “Teman-teman selalu meminjam penghapus padaku. Saya akan bagi-bagikan kepada mereka, satu orang satu potong, agar nantinya tidak mengganggu saya lagi.”
Saya bertanya, “DImanakah penghapus-penghapus mereka? Tidak mungkin penghapus saja mereka tidak mampu untuk membeli?” “Mereka selalu lupa untuk membawa. Jika kamu berikan kepada mereka, bukankah mereka juga bisa lupa untuk membawa?”
Mendengarkan ucapan saya, anak lelaki saya menjadi cemas. Saya memberitahu padanya, bila ada teman yang terlalu seringkali meminjam barang yang sama, maka harus berani untuk menolaknya.
“Mereka akan mengatakan saya si pelit, tidak mau menolong orang lain.”
Saya katakan, “Menolong orang juga harus melihat situasi. Orang yang memiliki kesetiaan tidak akan mengambil keuntungan atas kerugian orang lain. Kepada orang-orang yang seperti ini kita boleh membantu.”
“Akan tetapi, orang yang selalu menggunakan barang orang lain, juga masih mencela orang lain, jika kamu membantu orang yang demikian ini, itu sama saja dengan mencelakai dia, sifat buruknya akan semakin lama semakin besar.”
“Barang yang menjadi milikmu adalah sudah memang menjadi hakmu untuk mengaturnya, jangan karena takut menyalahi orang lain lalu menurut. Itu bukan kebaikan, itu adalah ketakutan. Mereka semua meminjam kepadamu, kamu sendiri juga tidak bisa belajar dengan tenang.”
“Dulu menghadapi orang semacam ini, ibu hanya bersedia meminjamkan kepadanya maksimum 3 kali. Sebelumnya sudah ada kesepakatan. Sampai kali ke-3 ia masih begitu, lalu ibu beritahu dia bahwa dia sudah tidak ada kesempatan lagi untuk meminjam. Sudah memberi dia kesempatan, jadi dia sudah tidak beralasan lagi untuk mengeluh. Lagipula dengan demikian kita akan bisa membuat dia memperbaiki diri untuk tidak selalu tergantung pada orang lain, maka lebih baik demikian.”
Anak saya melakukan sesuai nasihat saya, dan telah melepaskan diri dari segala kesulitan. Sejak itu bila ada teman kelasnya yang meminjam buku, jika sudah tiba batas waktunya, ia juga sudah berani menegur temannya itu untuk mengembalikan bukunya.
Dia mengerti meminjam barang orang lain bisa menimbulkan kesulitan kepada orang lain, maka dari itu dia selalu memperhatikan kelengkapan alat-alat tulisnya. Terhadap orang yang pernah membantu, dia selalu berusaha untuk membalas. Biasanya dalam hal pinjam meminjam barang diantara teman sekelas, ia sangat menepati janji.
Ketika di kelas dua, saya membelikan dia sebuah jam tangan multifungsi. Suatu hari, dia katakan bahwa pelajaran olahraga akan menguji lari jarak pendek, gurunya hanya memiliki satu jam tangan, dia ingin membantu meminjamkan jam tangannya untuk dijadikan stopwatch.
Tentu saya sangat mendukung kebaikan hatinya. Malam di perjalanan pulang ke rumah, dengan nada penuh keraguan dia berkata, “Ibu, ada suatu hal ibu jangan marah.”
Melihat mimik wajahnya saya sudah dapat menebak apa yang hendak ia katakan, “Apakah jam tanganmu itu hilang?” Tanya saya.
Dia menganggukkan kepalanya. Dia lalu menjelaskan bahwa ketika jam istirahat sekolah, dia meletakkan jam tangan itu diatas meja, sekembalinya jam itu sudah hilang. Dia melaporkan hal tersebut kepada wali kelasnya. Guru itu hanya memandangnya sekejap dan tidak bersuara, karena guru dari awal sudah berpesan untuk tidak membawa barang berharga ke sekolah. Jadi dia tidak mau bertanggung jawab. Dia hanya menanyakan kepada teman sebangkunya apakah melihat dan tidak bertanya kepada orang lain lagi.
Saya bertanya, “Apakah kamu masih ingat cerita dalam Perjalanan Ke Barat, ketika Sun Wukong (Si kera sakti) memamerkan jubah bhiksu Tang Sen, akhirnya bhiksu tua itu timbul ketamakan hati dan ingin membakar mati Tang Sen?”
Bodhisatwa Guan Yin akhirnya datang menolong mereka. Bodhisatwa mengatakan kepada mereka bahwa sebab utama dapat timbulnya rintangan tersebut adalah dikarenakan oleh hati pamer Sun Wukong.
Apakah peristiwa hari ini bisa terjadi bila engkau bukan hendak pamer diri? Waktu beristirahat seharusnya jam tangan itu kamu simpan dan masukkan ke dalam tas atau dikenakan di tangan, mana boleh diletakkan dan ditinggal diatas meja begitu saja?”
Mendengar itu anak saya tertawa tersipu malu.
Saya lanjutkan, “Anak kecil terkadang tidak bisa menahan diri, begitu kelihatan langsung diambil. Setelah itu tidak berani untuk mengembalikan, takut dikatai orang sebagai pencuri. Hari ini kamu memberi satu orang kesempatan dan jalan untuk mundur. Besok pagi kamu bisa bertanya kepada teman kelasmu, siapa yang telah bergurau menyembunyikan jam tangan itu, tolong dikembalikan, dan kamu bisa memberikan hadiah kepada orang yang mengembalikan itu.”
Anak saya memohon kepada saya untuk tidak melakukan hal itu, karena dia tidak berani berbicara di depan kelas. Saya memberi dia semangat agar dia harus bicara, menganggap hal itu biasa seperti dia pergi bermain di waktu istirahat.
Lagi pula bila kehilangan barang bungkam dan tidak bersuara, bisa memberi angin kepada si pencuri, jangan karena kecerobohan kita dan nyali kecil kita menjadikan seorang anak baik berubah menjadi anak yang nakal, hal tersebut juga adalah satu kesalahan.
Akhirnya dia menyetujui. Keesokan malam pulang dari sekolah, saya bertanya kepadanya apakah sudah dilaksanakan. Dia cerita sedikit tentang penampilannya. Walaupun sudah mengatakan di depan kelas, tapi kurang mantap.
Saya tetap memberinya pujian… akhirnya dia bisa melangkah setapak kecil ini adalah melampaui lubuk hati diri sendiri.
Jam tangan itu pada akhirnya tetap tidak ada orang yang mengembalikan. Akan tetapi, hal tersebut sudah bukan hal yang penting lagi.
Setelah mengalami kejadian tersebut, anak saya berangsur-angsur menjadi lebih dewasa, menjadi anak yang lebih bertanggung jawab, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.
Ia menjadi paham akan suatu prinsip bahwa untuk bisa membuat orang di sekitar kita baik, kita bisa memulai dengan mengurus baik hati kita sendiri, mengatur dengan baik barang-barang kita sendiri, hal tersebut juga merupakan tanggung jawab kita kepada orang lain. (Erabaru/hui)
0 comments:
Post a Comment